Minggu siang
yang cukup terik di pertengahan tahun 2011. Hari ini adalah hari terakhir jatah
liburan liburan saya. Besok saya harus kembali ke penjara suci (baca: asrama),
MAN Insan Cendekia Gorontalo. Berjihad di jalan Allah, menuntut ilmu sesuai
dengan perintah Allah swt.
Rencananya, hari ini saya hendak
mengunjungi ikon masyarakat Limboto, Kabupaten Gorontalo, Menara Keagungan
Limboto. Tak ada jenuh bertandang ke menara dengan enam lantai tersebut,
walaupun hampir setiap hari saya lewat di bawahnya sebelum akhirnya saya
memutuskan masuk sekolah berasrama.
Dari rumah saya yang kira-kira
berjarak 1 km dari Menara, saya mengendarai bentor. Bentor merupakan
kependekkan dari becak dan motor. Alat transportasi umum di Gorontalo yang
merupakan hasil modifikasi becak dan motor. Rasanya kurang lengkap berkunjung
ke Gorontalo jika tidak mengendarai alat transportasi roda tiga ini. Cukup
membayar Rp 2000 per orang.
Sepanjang perjalanan saya lihat kanan tengok kiri. Di daerah ini, di Limboto, saya tumbuh dan belajar. Rumah-rumah dengan atap seng berjajar di sepanjang Jalan Jendral Ahmad Yani yang saya lewati. Beberapa nampak tertutup rapat. Hanya ada beberapa orang yang terlihat sedang beraktifitas. Maklum, di Gorontalo masih ada budaya tidur siang. Maka tak mengherankan jika Gorontalo terasa lenggang di siang hari.
Angin menerpa
wajah saya dengan lembut. Saya menarik napas dengan antusias. Udara di
Gorontalo terbilang masih bersih. Belum terinterupsi oleh polusi kendaraan
bermotor atau limbah pabrik. Lingkungannya pun bersih. Saya tidak mendapati adanya
tumpukan sampah di sepanjang jalan yang saya lewati. Maka pantaslah bila
Gorontalo berhasil mendapatkan penghargaan Adipura. Ah, saya bangga besar di
sini.
Setelah menempuh
perjalanan kurang dari 10 menit, saya akhirnya tiba. Menara Keagungan Limboto
menjulang anggun di depan saya! Menjulang dengan lima lantai dengan puncak yang
ditutupi kubah, seperti kubah yang ada di masjid-masjid. Bedanya, tidak ada
lengkung sabit dan bintang di ujungnya. Menggambarkan Provinsi Gorontalo sebgai
Kota Serambi Madinah Indonesia. Menemani Provinsi NAD sebagai Serambi Makkah.
Saya segera
menuju loket karcis. Ongkosnya Rp 5000 untuk anak-anak dan Rp 10000 untuk
dewasa. Berhubung saya belum punya KTP, jadi sah-sah saja kan jika saya
digolongkan anak-anak? Saya tersenyum manis kepada penjaga loket ketika beliau
menyetujui saya membayar Rp 5000.
Ada dua cara
untuk sampai ke puncak menara. Pertama, naik lift sampai lantai tiga, lalu menaiki
tangga hingga lantai enam. Kedua, menaiki tangga dari lantai dasar sampai
lantai enam. Saya memilih cara kedua. Lebih melelahkan memang. Namun dengan
menaiki tangga, saya bisa sekalian memuaskan mata dengan memandangi Limboto
dari atas ditemani angin sepoi-sepoi. Lebih nikmat rasanya.
Setelah sampai
di lantai tiga, saya mulai kelelahan. Bulir-bulir keringat satu per satu
bercucuran. Saya memutuskan untuk istirahat sejenak. Untunglah, sebelum naik
Menara saya sempat membeli es teller yang dijual di kaki Menara ini. Penjualnya
berjualan dengan mobil. Jok tengah dan jok belakangnya dikeluarkan dan diganti
dengan etalase dan wadah-wadah. Untuk segelas es teller, saya harus membayar Rp
5000. Saya tandaskan es teller terakhir dengan sekali teguk. Hmmm, segarnya.. Saya pun melanjutkan
wisata saya.
Adzan Ashar
berkumandang dari sound area Masjid
Agung Baiturrahman. Beberapa jenak setelah saya tiba di puncak Menara. Saya
kini bisa melihat pemandangan Limboto dari atas dengan leluasa. Di lantai tiga
tadi, pandangan saya sempat terhalang oleh pohon-pohon besar yang memang
dipelihara pemerintah. Namun kini akhirnya pandangan saya bebas sejauh mata
memandang.
Setelah puas memandang dan tentu
saja tak lupa mengambil gambar, saya pun turun. Kali ini saya mengambil rute
pertama. Turun dengan tangga hingga ke lantai tiga, lalu dengan lift sampai
lantai dasar.
Dari Menara, saya melangkahkan kaki
ke arah barat laut. Sebuah masjid berdiri dengan megah, Masjid Agung
Baiturrahman. Tepat di kaki Menara. Cukup berjalan kaki sedikit dan sampai!
Hendak menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
Pukul 17.00 WITA. Tak terasa, waktu
bergulir begitu cepat. Seusai shalat, saya duduk-duduk di taman, tepat di kaki
Menara. Saya punya janji dengan beberapa sahabat. Sekalian perpisahan sebelum
saya kembali ke asrama. Selama di asrama, saya punya jatah pesiar dua minggu
sekali. Itupun hanya dari jam 08.00 sampai jam 15.00. Bila terlambat pulang,
jatah pesiar berikutnya akan dihapus sebagai hukuman. Kali ini adalah jatah
liburan semester.
Saat kami telah puas mengobrol dan
saling pamit, beberapa penjual terlihat mulai mempersiapkan dagangannya. Di
taman Menara Keagungan Limboto ini, kita bisa menjumpai beraneka macam
dagangan. Mulai dari makanan, seperti nasi goreng, mie, roti bakar, soto ayam,
bakso, sampai makanan tradisional Gorontalo, milu siram. Ada juga penjual nasi
kuning khas Kampung Kodo, Manado. Untuk minuman, mulai dari aneka jus, minuman
hangat, hingga saraba. Ada pula penjual aneka aksesoris yang selalu ramai
dikunjungi kawula muda.
Keramaian ini hanya akan kita dapati
di kala senja beranjak malam hingga tengah malam. Sesuai dengan kesepakatan
antara para penjual dan Bupati Kabupaten Gorontalo, aktifitas perdagangan hanya
dibolehkan dari sore hingga tengah malam.
Sepeninggal sahabat-sahabat saya, saya
tepekur memandang keanggunan Menara Keagungan Limboto. Semburat-semburat jingga
mulai bermunculan di dirgantara. Suatu hari nanti, akan tiba saatnya bagi saya
untuk meninggalkan Limboto, meninggalkan Gorontalo. Untuk pergi menuntut ilmu,
untuk Gorontalo lebih baik. Jingga di Eiffel Limboto seakan mendoakan saya
dengan semburat indahnya. Adzan Magrib berkumandang.
Subhanallah, terima kasih ya telah menulis tentang daerahku. Semoga catatan ini bisa menjadika Gorontalo lenyap dalam dekapan sejarah.
BalasHapusJalin persaudaraan dengan follow dan visit my blog.
Nama : Idrus Dama
My Blog : www.cahayapena.com