Sabtu, 30 Mei 2015

Tentang Kita - Sepotong Kenangan di Kampung Arab


Seorang gadis terduduk lesu di selasar masjid. Ia menyandarkan tubuhnya yang lelah dan meluruskan kaki, sambil memeluk ransel bermotif bunga. Gadis itu menengok jam tangannya sekali lagi. 2.38 AM. Ia menggerutu ke sekian kalinya. Sudah hampir setengah jam ia duduk di situ, tentu saja sambil terus menggerutu dalam hati. Orang yang ditungguinya tak kunjung datang padahal lelah dan kantuk sudah menyergap tubuhnya sedari berjam-jam lalu.

Ia tak bisa tidur nyenyak di kereta. Penumpang yang ngobrol, benda jatuh, gesekan rel, dan ditambah lagi dengkuran teman duduknya, tidak membiarkannya tidur tenang. Sungguh perjalanan 12 jam yang melelahkan. Ia begitu lega mendengar pengumuman akan tiba sebentar lagi di Stasiun Pasar Turi, stasiun terakhir, stasiun tujuannya. Tidak sabar rasanya untuk membaringkan tubuh di kasur. Ia begitu bersemangat ketika turun dari kereta. Bahkan ia tak peduli lagi dengan desak penumpang dan beraneka aromanya. Begitu keluar dari stasiun ia langsung diserbu tukang ojek, supir angkot, juga supir taksi. Ia menolak dengan halus, berkata ia akan dijemput. Tapi ternyata si penjemput tak terlihat batang hidungnya. Maka di sinilah ia, di selasar masjid, menunggu.



3.15 AM. Gadis itu kini memaki dalam hati. Mengutuk dirinya sendiri yang memutuskan memisahkan diri dari rombongan. Mengutuk handphone-nya yang kehabisan daya. Mengutuk laki-laki paling menyebalkan seantero jagat raya yang telah berjanji menjemputnya on time, tapi hingga kini entah di mana keberadaannya.

"Maaf." Suara berat laki-laki dan sebungkus coklat batang terjulur di depan wajahnya.

Gadis itu seketika mendongak. Begitu sebentuk wajah tertangkap matanya, ia refleks memonyongkan bibirnya.

"Kau tidak tahu betapa lelahnya aku selama perjalanan. Aku cuma ingin tidur dengan tenang! Aku sudah membayangkan kasur yang empuk menantiku dan yang kudapatkan? Dinding masjid yang dingin. Laki-laki macam apa kau membiarkan sahabat perempuannya menunggu sendirian di tempat asing begini?" omel gadis itu panjang lebar.

"Maaf, hehehe. Kan sudah kubawakan coklat, udahan dong ngambeknya," pinta laki-laki itu sambil membawakan ransel sahabatnya.

"Kenapa kau terlambat sebegitu lamanya?"

"Aku tak tega membangunkan Abi. Aku lupa, tadi malam tidak sempat bilang kalau mau minjem mobil. Aku kan tidak mau kau jatuh dari motorku saking ngantuknya," jawab laki-laki itu sembari membuka bungkus coklat lalu memakannya.

"Kok dimakan? Katanya buat aku!" protes sang gadis.


***

Nayra sungguh masih mengantuk, bahkan mata tak sanggup dibukanya. Tapi gedoran di pintu memaksanya untuk mengangkat kepalanya dari bantal dan berjalan ke arah pintu.

"Selamat pagi menjelang siang!" sapa Koko dengan senyum lebar.

"Ampun dah anak gadis jam segini belum mandi, gimana masa depan rumah tangga kalau gini?"

Nayra menguap panjang sambil meregangkan badan.

"Ya ampun, Nay, itu baunya ke mana-mana. Ayolah siap-siap katanya mau jalan-jalan."

"Kita mau ke mana?" tanya Nayra antusias.

"Ikut aja."


***

"Ampunnn, Surabaya panas banget sih," seru Nayra dari belakang. Dari spion kiri, Koko bisa melihat Nayra sedang menarik lengan kausnya sekarang. Menyembunyikan tangan mungilnya dari sengatan matahari.

"Masih jauh ya tempatnya?"

"Dikit lagi," jawab Koko singkat. Tak ingin memperpanjang obrolan karena bisa-bisa kupingnya tuli mendadak dengan suara Nayra.

20 menit kemudian, sebuah plang tertangkap oleh mata mereka. Koko sedikit melajukan motornya. Ia mengarahkan motornya di ruang kosong antara dua motor.

"Ayo turun, udah nyampe. Betah banget dibonceng aku," canda Koko.

"Kita ngapain di sini?"

"Ya jalan-jalanlah, Non. Kan katanya mau jalan-jalan ke tempat seru tapi nggak ngeluarin banyak uang, ya di sini. Masuknya gratis, nggak pake bayar," ujar Koko sambil melepas helm Nayra yang terlihat bengong.

"Kampung Arab? Emang banyak orang Arabnya ya?"

"Dulu banyak orang Arab yang datang untuk berdagang. Lama kelamaan makin banyak dan mereka akhirnya membuat permukiman di sini, bahkan ada juga yang menikah dengan masyarakat lokal. Yuk, sambil jalan."

Nayra melihat sekeliling, pandangannya dengan mudah menemukan orang-orang dengan wajah khas Timur Tengah.

"Kampung Arab ini sebenarnya tempat pesantrennya Sunan Ampel. Kita jalan sedikit nanti ketemu Masjid Ampel. Ada makam Sunan Ampel dan santri-santrinya juga di sini, jelas Koko.

"Jangan-jangan kau tak kenal Sunan Ampel lagi."

"Emang nggak kenal, mana sempat kenalan kalau beliau keburu meninggal duluan. Kalau tahu sih iya."

"Tahu gejrot? Tahu pedas? Ada di sini," sambar Koko.

Nayra menyikut Koko kesal.

"Untung kau sekarang berhijab, jadi gampang. Soalnya kalau mau masuk daerah ini harus memakai pakaian tertutup. Kita ke masjid bentar ya, aku sholat dhuzur dulu."

Nayra memandangi masjid di depannya. Masjid itu seperti menyimpan begitu banyak cerita. Tampak kokoh meski gurat-gurat bangunan tua nampak di beberapa bagian. Ia baru menyadari kalau tempat sholat perempuan berada di bangunan tersendiri, di sebelah selatan. Dikeluarkan kamera dan diambilnya beberapa gambar.

"Eh, maaf," ujarnya spontan ketika ia tak sengaja menginjak kaki seseorang.

Gadis berusia sekitar 10 tahun itu tak begitu peduli, ia melanjutkan permainan dengan teman-temannya. Kadang Nayra merasa geli melihat anak-anak itu. Kebanyakan mereka dengan garis wajah Timur Tengah, namun gaya bicaranya medok Jawa.

"Ayo. Setelah ini kita ziarah ke makam Sunan Ampel, jalan sedikit lagi."

Nayra mengekor Koko. Meski sebenarnya ia bertanya-tanya kenapa sahabatnya itu mengajak ke tempat wisata religi seperti ini.

"Kau tahu, konon katanya di masjid ini adalah sebuah lubang. Lewat lubang itu kita bisa melihat langsung ke Ka'bah, dipakai buat nentuin arah kiblat. Pembuatnya Mbah Bolong, santri dari Sunan Ampel," cerita Koko tiba-tiba.

"Masa sih? Mana mungkin dengan sebuah lubang langsung bisa ngelihat Ka'bah," ucap Nayra tak percaya.

"Ya sudah kalau tak percaya, katanya sih gitu. Terus katanya di sini juga ada makam tukang bersih-bersih yang meninggal sembilan kali."

Nayra seketika bergidik. Ia memendekan jaraknya dengan Koko. "Jangan nakut-nakutin, dong," protes Nayra.

Koko terkekeh. "Masih terang begini aja takut, gimana kalau udah malam."

"Ya kalau si almarhum dengar kita omongin, takutnya dia nggak suka gitu. Kalau dia tiba-tiba muncul gimana?"

"Ya tinggal disapa." Nayra merenggut. Selalu begitu, Koko pasti akan selalu memanfaatkan kelemahannya yang takut hantu.

Mereka akhirnya memasuki area pemakaman. Nampak orang berbondong-bondong sedang bergantian masuk ke area pemakaman. Nayra takjub dengan orang-orang yang meski tak ada lagi di dunia ini, tapi begitu dicintai dan selalu diziarahi makamnya.

"Aku nggak ikut masuk deh, penuh banget gitu."

Koko mengerti. Nayra memang tidak suka tempat yang sesak. Tapi kalau dia tak masuk, buat apa jauh-jauh datang ke sini.

"Ayolah, sebentar saja," ajak Koko sambil menarik tangan Nayra.

Akhirnya mereka masuk juga. Di dalam, Koko segera membaca surat-surat pendek, sementara Nayra justru lebih asyik memperhatikan peziarah lainnya. Kebanyakan berasal dari pesantren. Beberapa di antaranya ada yang menitikkan air mata atau sekadar berkaca-kaca. Nayra bertanya-tanya kenapa mereka bisa sebegitunya.

Ketika mereka keluar dari area pemakaman, adzan berkumandang. Rupanya lama juga mereka di dalam. Mereka kembali lagi ke masjid. Di sekitar masjid, nampak beberapa dagangan mulai digelar.

"Biasanya jam segini pasarnya mulai dibuka. Sepanjang Jalan KH. Mas Mansyur, Jalan Sasak, dan Jalan Masjid Ampel ini bakal dipenuhi sama macam-macam daganagan. Keperluan ibadah, pakaian, parfum, kurma, dan yang paling utama kulinernya. Sehabis aku sholat, kita makan nasi kebuli."

Nayra hanya manggut-manggut. Ia kini sibuk mengabadikan momen-momen di sekitarnya. Ia tertarik dengan salah satu dagangan yang dibiarkan tanpa penunggu dan hanya ditinggalkan dengan secarik kertas "Maaf, sedang sholat atau keluar".

Ia mengambil gambar dengan berbagai angle. Kameranya menangkap dua bayangan anak kecil yang saling mengaitkan kelingkingnya. Cepat-cepat ia abadikan momen itu dan melihat hasil jepretannya. Sesaat ia tertegun, merasa seperti berkaca. Ia ingat betul masa itu. Masa-masa paling sulit dalam hidupnya.

Ia baru kembali dari tamasya sekolah saat dia menyaksikan rumahnya hanya menyisakan abu dan puing-puing. Ia tidak takut atau menangis, ia hanya bertanya-tanya di mana ibu dan ayahnya. Tapi tak ada yang mau menjawab pertanyaannya.

Bertahun-tahun berikutnya ia tak lagi bertanya-tanya. Ia sudah hapal reaksi orang-orang -membuang muka lalu membicarakan hal lain-. Ia membentuk pemahamannya sendiri, kalau kedua orang tuanya kini berada di tempat paling indah dan mereka pasti sedih jika melihatnya menangis. Maka sejak saat itu, tidak dibiarkan satu titik air matanya lepas dari pelupuk matanya.

Koko, teman sekelasnya, anak paling nakal di sekolahnya. Nayra hanya tahu kalau Koko itu menyebalkan dan Nayra tidak mau dekat-dekat dengannya. Nayra tidak mau ketularan nakal. Nayra selalu memasang tampang jutek jika Koko mulai mendekatinya. Entah dengan alasan meminjam pensil, minta kertas, atau bahkan ketika memberinya bekal. Sampai suatu hari ia tak tahan lagi.

"Aku tidak suka denganmu, tapi kenapa kau selalu memberiku bekal?" tanya Nayra polos.

"Kata Ummi-ku, kau pasti sedih karena tidak ada lagi yang membuatkanmu bekal. Karena itu aku selalu meminta dibuatkan bekal juga untukmu biar kau tidak sedih lagi. Tapi kau tak pernah mau makan bekalku, akhirnya aku terpaksa menghabiskannya sendiri. Habis kalau tidak, Ummi pasti memarahiku," ujar Koko kecil panjang lebar dengan polosnya.

Nayra menangis kala itu, tangisan pertamanya setelah sekian lama. Ia tidak tau kalau ada yang begitu peduli padanya. Bahkan Paman dan Bibinya tidak begitu peduli padanya.

"He eh kenapa kau menangis? Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu sedih."

Nayra segera mengusap matanya dan memamerkan senyumnya. "Tidak apa-apa. Aku sekarang mau makan bekalmu, kau masih mau membaginya?"

Koko menyorongkan kotak bekal ke hadapan Nayra. Ia lega Nayra tidak sedih lagi. Ia tidak suka melihat temannya sedih. Nayra pasti sangat kuat, karena ia menangis sebentar sekali. Beda dengannya kalau menangis bisa berjam-jam.

"Kau tidak usah sedih. Kalau kau mau, aku ingin berteman denganmu. Nanti kubawakan bekal tiap hari," ucap Koko polos.

Nayra mengangguk dan mereka saling mengaitkan kelingking, mengabadikan janji.

"Woy! Ngelamun aja!" seru Koko tepat di dekat kuping Nayra, membuatnya ditarik dari kenangan masa kecil itu.

Nayra memandang Koko sebal. Tapi sepertinya laki-laki itu tidak menghiraukannya, karena sekarang ia telah berjalan duluan.

"Ayo cepat, aku lapar."


***

Depot Tujuh penuh dengan pelanggan. Untunglah mereka datang saat pelanggan tidak seramai sekarang, jadi pesanan mereka sudah siap tanpa menunggu lama. Koko bahkan sudah menghabiskan nyaris setengah nasi kebulinya.

"Kau kelaparan? Ini ambil punyaku sebagian. Aku tak sanggup menghabiskan sendiri."

Koko hanya tersenyum lebar.

Selepas makan, mereka berjalan santai menyusuri deretan dagangan di Pasar Ampel itu. Nayra ingin sekali membeli gelang dari batu-batuan tadi, tapi Koko tidak sabaran karena banyak sekali yang mengantri. Lagipula kami harus kembali ke masjid karena waktu maghrib telah datang.

Nayra mengisi waktu dengan mengecek ponselnya. Beberapa komentar menghiasi statusnya. Ia hanya tersenyum kecil menanggapi protes teman-temannya karena ia datang lebih dulu.

Tiba-tiba sebuah tangan menariknya.

"Koko! Pelan-pelan," protesnya.

"Ayo cepat. Nanti kebabnya habis," rengek Koko.

Nayra hanya geleng-geleng kepala. Bahkan dengan nasi kebuli tadi, Koko masih ingin menambah kebab daging kambing.

"Memangnya di mana tempatnya?" tanya Nayra setelah mereka cukup lama berkeliling dan tidak menemukan pedagang kebab. Makin malam, pengunjung Pasar Ampel makin banyak rupanya.

"Aku tak tahu."

Nayra hanya menghembuskan nafas. Tidak heran lagi dengan sahabatnya satu ini. Sebuah aroma roti menyergap hidungnya tiba-tiba. Rupanya ada pedagang roti maryam.

"Coba itu yuk."

Tanpa menunggu persetujuan Koko, Nayra sudah memesan duluan. Original, keju susu, coklat, dan blueberi. Empat porsi sekaligus. Koko hanya merengut di sebelahnya. Kesal karena tidak menemukan kebab pujannya.

Nayra menyodorkan roti maryam di depan Koko."Kau memang laki-laki paling menyebalkan seantero jagat raya ya. Setelah membuarku menunggu berjam-jam di stasiun, mengajakku panas-panasan naik motor, berkeliling demi kebab, dan sekarang malah merengut di sebelahku."

Koko tiba-tiba menyubit hidung Nayra.

"Aw!"

"Ya karena kamu sahabatku."

Nayra tersenyum tipis. Kini Koko sedang memesan roi maryam porsi tambahan untuk dirinya sendiri.


-The End-


***

Cerita ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .

Sayangnya, saya belum beruntung. Masih harus belajar dan belajar lebih banyak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu :)