Senin, 13 Agustus 2012

Jingga di Eiffel Limboto


Minggu siang yang cukup terik di pertengahan tahun 2011. Hari ini adalah hari terakhir jatah liburan liburan saya. Besok saya harus kembali ke penjara suci (baca: asrama), MAN Insan Cendekia Gorontalo. Berjihad di jalan Allah, menuntut ilmu sesuai dengan perintah Allah swt.
            Rencananya, hari ini saya hendak mengunjungi ikon masyarakat Limboto, Kabupaten Gorontalo, Menara Keagungan Limboto. Tak ada jenuh bertandang ke menara dengan enam lantai tersebut, walaupun hampir setiap hari saya lewat di bawahnya sebelum akhirnya saya memutuskan masuk sekolah berasrama.
            Dari rumah saya yang kira-kira berjarak 1 km dari Menara, saya mengendarai bentor. Bentor merupakan kependekkan dari becak dan motor. Alat transportasi umum di Gorontalo yang merupakan hasil modifikasi becak dan motor. Rasanya kurang lengkap berkunjung ke Gorontalo jika tidak mengendarai alat transportasi roda tiga ini. Cukup membayar Rp 2000 per orang.
           
Sepanjang perjalanan saya lihat kanan tengok kiri. Di daerah ini, di Limboto, saya tumbuh dan belajar. Rumah-rumah dengan atap seng berjajar di sepanjang Jalan Jendral Ahmad Yani yang saya lewati. Beberapa nampak tertutup rapat. Hanya ada beberapa orang yang terlihat sedang beraktifitas. Maklum, di Gorontalo masih ada budaya tidur siang. Maka tak mengherankan jika Gorontalo terasa lenggang di siang hari.
Angin menerpa wajah saya dengan lembut. Saya menarik napas dengan antusias. Udara di Gorontalo terbilang masih bersih. Belum terinterupsi oleh polusi kendaraan bermotor atau limbah pabrik. Lingkungannya pun bersih. Saya tidak mendapati adanya tumpukan sampah di sepanjang jalan yang saya lewati. Maka pantaslah bila Gorontalo berhasil mendapatkan penghargaan Adipura. Ah, saya bangga besar di sini.
Setelah menempuh perjalanan kurang dari 10 menit, saya akhirnya tiba. Menara Keagungan Limboto menjulang anggun di depan saya! Menjulang dengan lima lantai dengan puncak yang ditutupi kubah, seperti kubah yang ada di masjid-masjid. Bedanya, tidak ada lengkung sabit dan bintang di ujungnya. Menggambarkan Provinsi Gorontalo sebgai Kota Serambi Madinah Indonesia. Menemani Provinsi NAD sebagai Serambi Makkah.
Saya segera menuju loket karcis. Ongkosnya Rp 5000 untuk anak-anak dan Rp 10000 untuk dewasa. Berhubung saya belum punya KTP, jadi sah-sah saja kan jika saya digolongkan anak-anak? Saya tersenyum manis kepada penjaga loket ketika beliau menyetujui saya membayar Rp 5000.
Ada dua cara untuk sampai ke puncak menara. Pertama, naik lift sampai lantai tiga, lalu menaiki tangga hingga lantai enam. Kedua, menaiki tangga dari lantai dasar sampai lantai enam. Saya memilih cara kedua. Lebih melelahkan memang. Namun dengan menaiki tangga, saya bisa sekalian memuaskan mata dengan memandangi Limboto dari atas ditemani angin sepoi-sepoi. Lebih nikmat rasanya.
Setelah sampai di lantai tiga, saya mulai kelelahan. Bulir-bulir keringat satu per satu bercucuran. Saya memutuskan untuk istirahat sejenak. Untunglah, sebelum naik Menara saya sempat membeli es teller yang dijual di kaki Menara ini. Penjualnya berjualan dengan mobil. Jok tengah dan jok belakangnya dikeluarkan dan diganti dengan etalase dan wadah-wadah. Untuk segelas es teller, saya harus membayar Rp 5000. Saya tandaskan es teller terakhir dengan sekali teguk. Hmmm, segarnya.. Saya pun melanjutkan wisata saya.
Adzan Ashar berkumandang dari sound area Masjid Agung Baiturrahman. Beberapa jenak setelah saya tiba di puncak Menara. Saya kini bisa melihat pemandangan Limboto dari atas dengan leluasa. Di lantai tiga tadi, pandangan saya sempat terhalang oleh pohon-pohon besar yang memang dipelihara pemerintah. Namun kini akhirnya pandangan saya bebas sejauh mata memandang.
            Setelah puas memandang dan tentu saja tak lupa mengambil gambar, saya pun turun. Kali ini saya mengambil rute pertama. Turun dengan tangga hingga ke lantai tiga, lalu dengan lift sampai lantai dasar.
            Dari Menara, saya melangkahkan kaki ke arah barat laut. Sebuah masjid berdiri dengan megah, Masjid Agung Baiturrahman. Tepat di kaki Menara. Cukup berjalan kaki sedikit dan sampai! Hendak menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
            Pukul 17.00 WITA. Tak terasa, waktu bergulir begitu cepat. Seusai shalat, saya duduk-duduk di taman, tepat di kaki Menara. Saya punya janji dengan beberapa sahabat. Sekalian perpisahan sebelum saya kembali ke asrama. Selama di asrama, saya punya jatah pesiar dua minggu sekali. Itupun hanya dari jam 08.00 sampai jam 15.00. Bila terlambat pulang, jatah pesiar berikutnya akan dihapus sebagai hukuman. Kali ini adalah jatah liburan semester.
            Saat kami telah puas mengobrol dan saling pamit, beberapa penjual terlihat mulai mempersiapkan dagangannya. Di taman Menara Keagungan Limboto ini, kita bisa menjumpai beraneka macam dagangan. Mulai dari makanan, seperti nasi goreng, mie, roti bakar, soto ayam, bakso, sampai makanan tradisional Gorontalo, milu siram. Ada juga penjual nasi kuning khas Kampung Kodo, Manado. Untuk minuman, mulai dari aneka jus, minuman hangat, hingga saraba. Ada pula penjual aneka aksesoris yang selalu ramai dikunjungi kawula muda.
            Keramaian ini hanya akan kita dapati di kala senja beranjak malam hingga tengah malam. Sesuai dengan kesepakatan antara para penjual dan Bupati Kabupaten Gorontalo, aktifitas perdagangan hanya dibolehkan dari sore hingga tengah malam.
            Sepeninggal sahabat-sahabat saya, saya tepekur memandang keanggunan Menara Keagungan Limboto. Semburat-semburat jingga mulai bermunculan di dirgantara. Suatu hari nanti, akan tiba saatnya bagi saya untuk meninggalkan Limboto, meninggalkan Gorontalo. Untuk pergi menuntut ilmu, untuk Gorontalo lebih baik. Jingga di Eiffel Limboto seakan mendoakan saya dengan semburat indahnya. Adzan Magrib berkumandang.

1 komentar:

  1. Subhanallah, terima kasih ya telah menulis tentang daerahku. Semoga catatan ini bisa menjadika Gorontalo lenyap dalam dekapan sejarah.

    Jalin persaudaraan dengan follow dan visit my blog.

    Nama : Idrus Dama
    My Blog : www.cahayapena.com

    BalasHapus

Tiada kesan tanpa komentarmu :)