Senin, 14 April 2014

*on the phone with my beloved grandma*


~~~

"Tiii.. ada kase skolah jaoh-jaoh cuma ba cari musuh dia," komentar pertama oma setelah ceritaku usai.

"Pi minta maaf kasana, nou," kata oma kemudian.

"Suda, baru dia bo bagitu. Bekeng malas," jawabku cepat. Ada sedikit kesal tersembul.

"Jangan tanya, sala sandiri."

"Ih, baru bagimana?"

"Ja me'otawa, sapa suru."

Aku menarik napas. Enggan membalas. Aku sudah terbiasa dengan posisi ini.





Kemudian aku bercerita lagi. Tentang Ibu. Tentang Bunda.

"Oma tau sandiri nunu depe orang tida enakan," ujarku akhirnya. Membela diri.

"Tida bole bagitu, nou. Tingga tawu motoliango. Itu kan nama prihatiningsih biar banya yang sayang. So butul ada kase nama bagitu to? Doa uyito, nou."

Aku mengangguk, meskipun oma tak bisa melihatnya.

"Iya, jadi oma tenang saja. Di sini nunu banya yang sayang."

"Bae-bae sama ibu sama bunda nou aaa. Dengar-dengar apa yang dorang bilang. Kase senang kasana dorang pe hati," pesan oma. Meski samar, aku dengan jelas menangkap getar dalam suaranya.

"Iya..."

"Baru yang tadi bagimana? Kase biar jo?" tanyaku, mengembalikan topik yang belum selesai tadi.

"Allah itu tau persis ti nunu pe niat bagimana. Tingga biar saja Allah yang mo ba atur itu."

Cukup begitu, dan semua beban pun terangkat. Oma memang selalu tau, selalu tau caranya. Tidak perlu melakukan apa-apa. Hanya kalimat-kalimat sederhana itu. Kalimat yang memberikan pemahaman, juga penerimaan.


Allah itu tahu persis niatmu bagaimana. Biarkanlah saja Allah yang akan mengaturnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiada kesan tanpa komentarmu :)